OUTPUT
PRAKTIKUM KESUBURAN, PEMUPUKAN, DAN
KESEHATAN TANAH
ACARA V
PROBLEMATIKA KESUBURAN TANAH DI
SEKITAR TEMPAT TINGGAL
Oleh Amelia Nabila Ardiningrum
(18/424301/PN/15341)
Pada hari, Minggu 27 September 2020 telah dilaksanakan praktikum
Kesuburan, Pemupukan, dan Kesehatan Tanah Acara V, yakni Problematika Kesuburan
Tanah di Sekitar Tempat Tinggal. Penulis melakukan survei secara mandiri dengan
mewawancarai petani yang berlokasi di Dusun Kranggan I, Jogotirto, Berbah,
Sleman, Yogyakarta. Kecamatan Berbah berada 18,90 km di sebelah tenggara dari
Ibukota Kabupaten Sleman. Koordinat geografis kecamatan Berbah berada di
7.48'21"LS dan 110.26'33"BT dengan luas wilayah 22,99 km2.
Berdasarkan data dari Pemerintah Kabupaten Sleman, bahwa ketinggian wilayah
kecamatan berbah <100 m dpl dengan kemiringan lahan (lereng) >40%. Hampir
sebagaian besar tata guna tanah berupa sawah, hal ini ditunjang dari kondisi
tanah pertanian yang subur dan irigasi teknis yang baik.
Penulis berkesempatan mewawancarai narasumber seorang petani tanaman
pangan, sebut saja Bapak Maryono (65). Kegiatan berlangsung selama satu jam,
yakni dari pukul 10.00 – 11.00 WIB. Penulis mengulik berbagai informasi seputar
problematika kesuburan tanah melalui kesaksian langsung selama mewawancarai
beliau. Survei dan wawancara ini, penulis lakukan untuk mengetahui lebih lanjut
terkait beberapa aspek, yakni meliputi keadaan tanah permukaan, keadaan lahan,
pola tanam, produktivitas, dan permasalahan yang dialami oleh petani.
Pengamatan pertama
diawali dengan meninjau langsung keadaan lahan. Pada lahan seluas 2500 m2,
ternyata diterapkan pola tanam secara monokultur, dimana pada saat kunjungan
tersebut penulis mendapati lahan sedang ditanami satu varietas jagung.
Penanaman jagung secara besar-besaran ini tidak hanya dilakukan oleh Bapak
Maryono tetapi juga oleh beberapa petani di wilayah tersebut, hal ini dikarenakan
adanya bentuk kemitraan antara perusahaan produksi benih (PT Advanta Seeds)
dengan kelompok petani di wilayah tersebut. Bentuk kemitraan tersebut dilakukan
dengan penanaman jagung varietas F9 sebagai benih penangkaran. Pada saat
kunjungan umur tanaman memasuki 60 HST, sedangkan masa panen pada saat jagung
112-115 HST.
Pada aspek budidaya di
lahan, digunakan jarak tanam sebesar 65 cm x 15 cm dimana peletakan tanaman
dibedakan atas jagung pejantan dan betina dengan berselang-seling antar baris
(jantan-betina-betina-betina-jantan). Hal ini ditujukan untuk meningkatkan
produktivitas jagung betina sebagai indukan penghasil tongkol benih jagung.
Sedangkan jagung pejantan nantinya akan digunakan oleh petani setempat sebagai
pakan ternak. Sebelum memulai tahap penanaman, beliau mengatakan bahwa
dilakukan tahapan olah lahan terlebih dahulu. Olah lahan dilakukan dengan cara
membajak, yakni seminggu sebelum pembajakan petak sawah diairi untuk melunakkan
tanah dan menghindarkan melekatnya tanah pada mata bajak. Kemudian terlebih
dahulu dibuat alur tepi dan di tengah petakan sawah agar air cepat membasahi
saluran petakan. Kedalaman dalam pembajakan ±15-25 cm. Pembajakan dilakukan
hingga tanah benar-benar terbalik dan hancur. Pada tahap penanaman benih,
beliau menerapkan satu lubang satu tanaman. Pengaplikasian pemupukan dilakukan pada
15-20 HST dengan urea sebanyak 150 kg/ 2.500 m2 kemudian pada 35-40 HST dengan
NPK Phonska sebanyak 150 kg/ 2500m2.
Beliau menggunakan jenis pupuk bersubsidi dimana urea dibeli dengan
harga Rp 100.000,00 per karung (50kg) dan Phonska sebesar Rp 125.000,00 per
karung (50kg).
Terkait aspek
produktivitas, petani di wilayah tersebut umumnya menerapkan pola tanam
padi-padi-jagung, sehingga dapat diketahui MT I, II, dan III. Pada musim tanam
I penanaman dimulai pada bulan Desember-Maret dengan hasil panen sebesar 3,2
ton/ha. Pada musim tanah II dilaksanakan pada bulan Maret-Juni dengan hasil
sebesar 2,56 ton/ha. Sedangkan pada musim tanam III, yakni penanaman jagung
diadakan pada bulan Juli-November dengan lahan seluas 2.500 m2 dapat dihasilkan
±2 ton jagung siap panen sehingga dapat dikonversikan menjadi 8 ton/ha. Dimana
kemudian sesuai kesepakatan yang telah ditentukan antara pihak perusahaan dan
petani, bahwa hasil panen jagung dihargai Rp 4.400,00 per kg nya.
Pengkajian terkait
aspek keadaan tanah permukaan dilakukan oleh penulis secara mandiri melalui
metode pengujian sifat fisik tanah. Pengujian sifat fisik tanah digunakan untuk
mengetahui tekstur, struktur, warna, kelengasan dan kebatuan.
Tekstur tanah merupakan ukuran dan
perbandingan butir-butir tunggal tanah (soil fraction) (Achmad dan Putra,
2016). Tekstur tanah akan mempengaruhi kemampuan tanah dalam menyimpan dan
menyediakan unsur hara bagi tanaman. Pengujian tekstur tanah menunjukkan bahwa
keadaan di lapangan sampel tanah merupakan kelas tekstur geluh. Tekstur tanah
geluh memiliki kandungan pasir, debu, dan lempung hampir sama (Sutanto, 2005).
Pada
tanah-tanah yang
mempunyai tekstur tanah geluh merupakan medium pertumbuhan perakaran yang baik
bagi
tanaman karena mempunyai tekstur dan struktur yang tidak terlalu jarang dan tidak terlalu mampat sehingga proses aerasi tanah cukup baik dan daya menahan air dari tanah pun cukup baik
pula.
aerasi tanah sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan akar, karena
akar dalam proses
biologisnya memerlukan pula O2 untuk pernapasan. Adapun struktur tanah di lapangan tergolong membentuk gumpal membulat.
Penetapan warna tanah didasarkan dengan menggunakan aplikasi semacam Soil Munsell Color Chart dengan hasil
10YR 1/1. Pada kondisi kelengasan tanah, diketahui kondisi
menunjukan tanah dalam keadaan lembab. Lengas tanah merupakan air yang mengisi
sebagian dan atau seluruh pori tanah. Salah satu faktor yang mempengaruhi
keberadaan air tanah adalah besarnya curah hujan dan air yang dapat meresap ke
dalam tanah. Ketersediaan lengas tanah sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan hasil tanaman. Gerakan lengas tanah juga dipengaruhi oleh sifat fisik tanah
yang berkaitan dengan kemampuan tanah meloloskan air (permeabilitas), yaitu
ukuran butir/tekstur, bentuk dan pori-pori tanah, serta tebal selaput
lengas/hidratasi zarah (Suharyatun et al.,2013).
Permasalahan yang kerap
dihadapi petani, yakni adalah serangan hama dan juga ketergantungan terhadap
pemupukan anorganik. Dari kedua permasalahan ini sebenarnya ada suatu
keterkaitan, dimana penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus justru
menimbulkan dampak yang jauh lebih parah, dimana salah satunya memicu tanaman
budidaya rentan terserang oleh hama dan penyakit disamping mampu menimbulkan
kerusakan tanah. Pemberian pupuk anorganik yang berlebihan, menyebabkan kurang
tersedianya beberapa unsur hara mikro di dalam tanah, disamping itu tanaman
rentan terhadap hama/penyakit sehingga efisiensi pupuk menurun. Kondisi ini
menyebabkan turunnya pH tanah sehingga mikro flora dan fauna mati, tanah menjadi
padat, dan tata aerasi menjadi jelek yang akhirnya menghambat perkembangan akar
dan pertumbuhan tanaman (Misran,2014). Solusi yang dapat dilakukan adalah
secara bertahap penggunaan pupuk anorganik dapat beralih menjadi penggunaan
pupuk organik, semacam pupuk kandang.
Pupuk kandang (pupuk
organik) merupakan kotoran padat dan cairan yang tercampur dengan sisa-sisa
makanan atau alas kandang ternak. Pupuk kandang dapat dikatakan selain
mengandung unsur hara makro (nitrogen), fosfor, kalium, dan lain-lain juga
mengandung unsur hara mikro (kalsium, magnesium, cuprum serta sejumlah kecil
mangan, borium dan lainlain), yang semuanya membentuk pupuk juga menyediakan
unsur-unsur hara atau zat - zat makanan bagi kebutuhan dan perkembangan tanaman
(Ismawati 2003.cit.Yuanita et al.,2016). Bahan organik seperti
pupuk kandang dapat sebagai sumber humus, sumber hara makro dan mikro dan
pembawa mikroorganisme yang menguntungkan dan juga sebagai pemacu pertumbuhan
tanaman. Sehingga penambahan pupuk organik berupa pupuk kandang kambing atau
sapi disamping menambah unsur hara bagi tanaman juga menciptakan kondisi yang
sesuai bagi pertumbuhan tanaman.
Penanganan terhadap
kondisi tanah yang rusak akibat penggunaan bahan anorganik secara terus
menerus, salah satunya adalah dengan memanfaatkan Biochar. Saat ini telah mulai
berkembang di dunia, penggunaan biochar atau arang limbah pertanian sebagai
bahan pembenah tanah alternatif. Biochar mampu bertahan lama di dalam tanah
atau mempunyai efek yang relatif lama, atau relatif resisten terhadap serangan
mikroorganisme, sehingga proses dekomposisi berjalan lambat (Tang et al., 2013). Salah satu upaya mitigasi
dalam menghadapi perubahan iklim adalah dengan meningkatkan sekuestrasi karbon
diantaranya dalam bentuk biochar. Biochar terbukti efektif dalam menurunkan
kemasaman tanah pada lahan kering masam yang banyak ditemui pada lahan
pertanian di Indonesia (Nurida,2014). Biochar juga mampu mengurangi pencucian
pestisida dan unsur hara dan pada akhirnya berdampak pada peningkatan kualitas
lingkungan. Potensi bahan baku biochar tergolong melimpah yaitu berupa limbah
sisa pertanian, terutama yang sulit terdekomposisi atau dengan rasio C/N
tinggi. Di Indonesia potensi penggunaan charcoal atau biochar cukup besar,
mengingat bahan baku seperti residu kayu, tempurung kelapa, sekam padi, tongkol
jagung, cukup tersedia. Oleh karena itu, biochar dapat menjadi pembenah tanah
alternatif yang potensial untuk memperbaiki kualitas lahan yang telah
terdegradasi.
Referensi
Achmad,S.R.
dan R.C. Putra. 2016. Pengelolaan lengas tanah dan laju pertumbuhan tanaman
karet belum menghasilkan pada musim kemarau dan penghujan. Warta Perkaretan,
35(1):1-10.
Misran.
2014. Pengaruh penggunaan pupuk terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah.
Jurnal Dinamika Pertanian 29(2):113-118.
Nurida,N.L.
2014. Potensi pemanfaatan biochar untuk rehabilitasi lahan kering di Indonesia.
Jurnal Sumberdaya Lahan Edisi Khusus,
57-68.
Pemerintah
Kabupaten Sleman. 2017. Topografi. http://www.slemankab.go.id/profil-kabupaten-sleman/geografi/topografi. Diakses pada 2
September 2020.
Suharyatun,S.,
B.Purwantana, A.Razaq, dan M.Mawardi. 2013. Sebaran lengas tanah akibat pembuatan
lorong pengatus dangkal pada tanah sawah. AGRITECH, 33(3):355-361.
Sutanto,R.
2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Kanisius, Yogyakarta.
Tang,
J., W. Zhu, R. Kookana, A. Katayama. 2013. Characteristics of biochar and its
application in remediation of contaminated soil. Journal of Bioscience and
Bioengineering 116(6),:653-659.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar