Sabtu, 03 Oktober 2020

 

OUTPUT

PRAKTIKUM KESUBURAN, PEMUPUKAN, DAN KESEHATAN TANAH

ACARA V

PROBLEMATIKA KESUBURAN TANAH DI SEKITAR TEMPAT TINGGAL

Oleh Amelia Nabila Ardiningrum (18/424301/PN/15341)

Pada hari, Minggu 27 September 2020 telah dilaksanakan praktikum Kesuburan, Pemupukan, dan Kesehatan Tanah Acara V, yakni Problematika Kesuburan Tanah di Sekitar Tempat Tinggal. Penulis melakukan survei secara mandiri dengan mewawancarai petani yang berlokasi di Dusun Kranggan I, Jogotirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta. Kecamatan Berbah berada 18,90 km di sebelah tenggara dari Ibukota Kabupaten Sleman. Koordinat geografis kecamatan Berbah berada di 7.48'21"LS dan 110.26'33"BT dengan luas wilayah 22,99 km2. Berdasarkan data dari Pemerintah Kabupaten Sleman, bahwa ketinggian wilayah kecamatan berbah <100 m dpl dengan kemiringan lahan (lereng) >40%. Hampir sebagaian besar tata guna tanah berupa sawah, hal ini ditunjang dari kondisi tanah pertanian yang subur dan irigasi teknis yang baik.

Penulis berkesempatan mewawancarai narasumber seorang petani tanaman pangan, sebut saja Bapak Maryono (65). Kegiatan berlangsung selama satu jam, yakni dari pukul 10.00 – 11.00 WIB. Penulis mengulik berbagai informasi seputar problematika kesuburan tanah melalui kesaksian langsung selama mewawancarai beliau. Survei dan wawancara ini, penulis lakukan untuk mengetahui lebih lanjut terkait beberapa aspek, yakni meliputi keadaan tanah permukaan, keadaan lahan, pola tanam, produktivitas, dan permasalahan yang dialami oleh petani.

Gambar 1. Bersama Narasumber

Pengamatan pertama diawali dengan meninjau langsung keadaan lahan. Pada lahan seluas 2500 m2, ternyata diterapkan pola tanam secara monokultur, dimana pada saat kunjungan tersebut penulis mendapati lahan sedang ditanami satu varietas jagung. Penanaman jagung secara besar-besaran ini tidak hanya dilakukan oleh Bapak Maryono tetapi juga oleh beberapa petani di wilayah tersebut, hal ini dikarenakan adanya bentuk kemitraan antara perusahaan produksi benih (PT Advanta Seeds) dengan kelompok petani di wilayah tersebut. Bentuk kemitraan tersebut dilakukan dengan penanaman jagung varietas F9 sebagai benih penangkaran. Pada saat kunjungan umur tanaman memasuki 60 HST, sedangkan masa panen pada saat jagung 112-115 HST.


Gambar 2. Varietas Jagung F9

Pada aspek budidaya di lahan, digunakan jarak tanam sebesar 65 cm x 15 cm dimana peletakan tanaman dibedakan atas jagung pejantan dan betina dengan berselang-seling antar baris (jantan-betina-betina-betina-jantan). Hal ini ditujukan untuk meningkatkan produktivitas jagung betina sebagai indukan penghasil tongkol benih jagung. Sedangkan jagung pejantan nantinya akan digunakan oleh petani setempat sebagai pakan ternak. Sebelum memulai tahap penanaman, beliau mengatakan bahwa dilakukan tahapan olah lahan terlebih dahulu. Olah lahan dilakukan dengan cara membajak, yakni seminggu sebelum pembajakan petak sawah diairi untuk melunakkan tanah dan menghindarkan melekatnya tanah pada mata bajak. Kemudian terlebih dahulu dibuat alur tepi dan di tengah petakan sawah agar air cepat membasahi saluran petakan. Kedalaman dalam pembajakan ±15-25 cm. Pembajakan dilakukan hingga tanah benar-benar terbalik dan hancur. Pada tahap penanaman benih, beliau menerapkan satu lubang satu tanaman. Pengaplikasian pemupukan dilakukan pada 15-20 HST dengan urea sebanyak 150 kg/ 2.500 m2 kemudian pada 35-40 HST dengan NPK Phonska sebanyak 150 kg/ 2500m2.  Beliau menggunakan jenis pupuk bersubsidi dimana urea dibeli dengan harga Rp 100.000,00 per karung (50kg) dan Phonska sebesar Rp 125.000,00 per karung (50kg).

Terkait aspek produktivitas, petani di wilayah tersebut umumnya menerapkan pola tanam padi-padi-jagung, sehingga dapat diketahui MT I, II, dan III. Pada musim tanam I penanaman dimulai pada bulan Desember-Maret dengan hasil panen sebesar 3,2 ton/ha. Pada musim tanah II dilaksanakan pada bulan Maret-Juni dengan hasil sebesar 2,56 ton/ha. Sedangkan pada musim tanam III, yakni penanaman jagung diadakan pada bulan Juli-November dengan lahan seluas 2.500 m2 dapat dihasilkan ±2 ton jagung siap panen sehingga dapat dikonversikan menjadi 8 ton/ha. Dimana kemudian sesuai kesepakatan yang telah ditentukan antara pihak perusahaan dan petani, bahwa hasil panen jagung dihargai Rp 4.400,00 per kg nya.

Pengkajian terkait aspek keadaan tanah permukaan dilakukan oleh penulis secara mandiri melalui metode pengujian sifat fisik tanah. Pengujian sifat fisik tanah digunakan untuk mengetahui tekstur, struktur, warna, kelengasan dan kebatuan.

 

Gambar 3. Pengujian Fisik Keadaan Tanah Permukaan

Tekstur tanah merupakan ukuran dan perbandingan butir-butir tunggal tanah (soil fraction) (Achmad dan Putra, 2016). Tekstur tanah akan mempengaruhi kemampuan tanah dalam menyimpan dan menyediakan unsur hara bagi tanaman. Pengujian tekstur tanah menunjukkan bahwa keadaan di lapangan sampel tanah merupakan kelas tekstur geluh. Tekstur tanah geluh memiliki kandungan pasir, debu, dan lempung hampir sama (Sutanto, 2005). Pada tanah-tanah yang mempunyai tekstur tanah geluh merupakan medium pertumbuhan perakaran yang baik bagi tanaman karena mempunyai tekstur dan struktur yang tidak terlalu jarang dan tidak terlalu mampat sehingga proses aerasi tanah cukup baik dan daya menahan air dari tanah pun cukup baik pula.  aerasi tanah sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan akar, karena akar dalam proses biologisnya memerlukan pula O2 untuk pernapasan. Adapun struktur tanah di lapangan tergolong membentuk gumpal membulat. Penetapan warna tanah didasarkan dengan menggunakan aplikasi semacam Soil Munsell Color Chart dengan hasil 10YR 1/1. Pada kondisi kelengasan tanah, diketahui kondisi menunjukan tanah dalam keadaan lembab. Lengas tanah merupakan air yang mengisi sebagian dan atau seluruh pori tanah. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan air tanah adalah besarnya curah hujan dan air yang dapat meresap ke dalam tanah. Ketersediaan lengas tanah sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Gerakan lengas tanah juga dipengaruhi oleh sifat fisik tanah yang berkaitan dengan kemampuan tanah meloloskan air (permeabilitas), yaitu ukuran butir/tekstur, bentuk dan pori-pori tanah, serta tebal selaput lengas/hidratasi zarah (Suharyatun et al.,2013).

Permasalahan yang kerap dihadapi petani, yakni adalah serangan hama dan juga ketergantungan terhadap pemupukan anorganik. Dari kedua permasalahan ini sebenarnya ada suatu keterkaitan, dimana penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus justru menimbulkan dampak yang jauh lebih parah, dimana salah satunya memicu tanaman budidaya rentan terserang oleh hama dan penyakit disamping mampu menimbulkan kerusakan tanah. Pemberian pupuk anorganik yang berlebihan, menyebabkan kurang tersedianya beberapa unsur hara mikro di dalam tanah, disamping itu tanaman rentan terhadap hama/penyakit sehingga efisiensi pupuk menurun. Kondisi ini menyebabkan turunnya pH tanah sehingga mikro flora dan fauna mati, tanah menjadi padat, dan tata aerasi menjadi jelek yang akhirnya menghambat perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman (Misran,2014). Solusi yang dapat dilakukan adalah secara bertahap penggunaan pupuk anorganik dapat beralih menjadi penggunaan pupuk organik, semacam pupuk kandang.

Pupuk kandang (pupuk organik) merupakan kotoran padat dan cairan yang tercampur dengan sisa-sisa makanan atau alas kandang ternak. Pupuk kandang dapat dikatakan selain mengandung unsur hara makro (nitrogen), fosfor, kalium, dan lain-lain juga mengandung unsur hara mikro (kalsium, magnesium, cuprum serta sejumlah kecil mangan, borium dan lainlain), yang semuanya membentuk pupuk juga menyediakan unsur-unsur hara atau zat - zat makanan bagi kebutuhan dan perkembangan tanaman (Ismawati 2003.cit.Yuanita et al.,2016). Bahan organik seperti pupuk kandang dapat sebagai sumber humus, sumber hara makro dan mikro dan pembawa mikroorganisme yang menguntungkan dan juga sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Sehingga penambahan pupuk organik berupa pupuk kandang kambing atau sapi disamping menambah unsur hara bagi tanaman juga menciptakan kondisi yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman.

Penanganan terhadap kondisi tanah yang rusak akibat penggunaan bahan anorganik secara terus menerus, salah satunya adalah dengan memanfaatkan Biochar. Saat ini telah mulai berkembang di dunia, penggunaan biochar atau arang limbah pertanian sebagai bahan pembenah tanah alternatif. Biochar mampu bertahan lama di dalam tanah atau mempunyai efek yang relatif lama, atau relatif resisten terhadap serangan mikroorganisme, sehingga proses dekomposisi berjalan lambat (Tang et al., 2013). Salah satu upaya mitigasi dalam menghadapi perubahan iklim adalah dengan meningkatkan sekuestrasi karbon diantaranya dalam bentuk biochar. Biochar terbukti efektif dalam menurunkan kemasaman tanah pada lahan kering masam yang banyak ditemui pada lahan pertanian di Indonesia (Nurida,2014). Biochar juga mampu mengurangi pencucian pestisida dan unsur hara dan pada akhirnya berdampak pada peningkatan kualitas lingkungan. Potensi bahan baku biochar tergolong melimpah yaitu berupa limbah sisa pertanian, terutama yang sulit terdekomposisi atau dengan rasio C/N tinggi. Di Indonesia potensi penggunaan charcoal atau biochar cukup besar, mengingat bahan baku seperti residu kayu, tempurung kelapa, sekam padi, tongkol jagung, cukup tersedia. Oleh karena itu, biochar dapat menjadi pembenah tanah alternatif yang potensial untuk memperbaiki kualitas lahan yang telah terdegradasi.

 

Referensi

Achmad,S.R. dan R.C. Putra. 2016. Pengelolaan lengas tanah dan laju pertumbuhan tanaman karet belum menghasilkan pada musim kemarau dan penghujan. Warta Perkaretan, 35(1):1-10.

Misran. 2014. Pengaruh penggunaan pupuk terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah. Jurnal Dinamika Pertanian 29(2):113-118.

Nurida,N.L. 2014. Potensi pemanfaatan biochar untuk rehabilitasi lahan kering di Indonesia.  Jurnal Sumberdaya Lahan Edisi Khusus, 57-68.

Pemerintah Kabupaten Sleman. 2017. Topografi. http://www.slemankab.go.id/profil-kabupaten-sleman/geografi/topografi. Diakses pada 2 September 2020.

Suharyatun,S., B.Purwantana, A.Razaq, dan M.Mawardi. 2013. Sebaran lengas tanah akibat pembuatan lorong pengatus dangkal pada tanah sawah. AGRITECH, 33(3):355-361.

Sutanto,R. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Kanisius, Yogyakarta.

Tang, J., W. Zhu, R. Kookana, A. Katayama. 2013. Characteristics of biochar and its application in remediation of contaminated soil. Journal of Bioscience and Bioengineering 116(6),:653-659.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar